Sekian lama
Kita saling mencinta
Selama itu pula
Seringku buatmu kecewa
Kau cintai aku
Sepenuh hatimu
Kau sayangi aku
Dan segala kekuranganku
Reff:
Maafkan aku cinta
Sering buatmu kecewa
Maafkan aku cinta
Tlah buatmu terluka
Maafkan aku cinta
Tak bisa buatmu bahagia
Maafkan aku
Cinta
Hanya kau yang pahamiku
Hanya kau yang mengertiku
Kutahu sucinya cintamu
Kutahu pengorbananmu
Maafkan aku cinta
Suatu saat nanti
Kan kutebus sgalanya
"Sibuk?"
Kulirik isi BBM sekilas.
Nantilah, pikirku.
Kembali kutekuri mesin motor di depanku. Ada race nanti malam. Aku harus persiapkan motorku. Tak ada yang lebih
penting dari itu sekarang.
Dua jam kemudian, motorku siap. Kuambil BB dan mulai mengetik.
"Yup. Race tar
malem."
Kulihat tanda "is writing a message" dibawah namanya.
"Gudlak then. Sori, ga bisa nonton. Ga enak badan."
Kupilih emoticon jempol. Send.
"GWS," tambahku.
"Thanks," jawabnya.
Kupusatkan pikiranku pada race malam itu. Aku pemula. Masih harus banyak
belajar. Tentang mesin. Tentang sirkuit. Tentang rival-rivalku. Tentang
strategi. Kuhabiskan beberapa bulan terakhir ini untuk itu. Kadang menginap di
bengkel. Kadang di rumah sponsorku. Tim kami berkandang disana.
Aku sadar selama itu pula aku banyak mengabaikan dia. Menunda-nunda membaca
BBMnya. Agar notifikasinya masih "D" (delivered), bukannya "R" (read), agar dia paham kalau aku sibuk.
Lagipula aku semakin malas membaca BBMnya. Paling-paling bilang, "I
miss u." Atau tanya apa aku sudah makan? Dasar cewek. Apa nggak ada yang lebih
penting dari itu di pikiran mereka? Bagiku masih banyak hal yang lebih penting
dibandingkan menjawab aku makan apa dan jam berapa. Dan kangen? Pertanyaan macam apa itu. Dia cewekku. Tentu saja dalam hatiku aku kangen. Tapi apa iya harus diucapkan tiap hari? Masih banyak yang lebih penting di otakku.
Sejak aku sering menunda membalas BBMnya, dia jarang BBM lagi. Jika dulu
dia BBM seperti minum obat, sekarang bahkan 3 hari sekali pun belum tentu.
Kadang cuma mengirim gambar-gambar ke inbox FBku. Gambar yang menunjukkan dia
kangen. Dan aku cuma melihatnya. Nggak sempat membalas lah. Aku kan sibuk.
Kusetel sekali lagi motorku. Memastikan kalau performanya sempurna untuk
race kali ini.
"Klunthing."
BBku berbunyi. Kulirik sekilas. Dari dia.
"Cek inbox FB."
Singkat.
Kuabaikan BBM itu. Race sudah
memasuki putaran terakhir. Aku harus fokus. Kumasukkan BB ke dalam saku, dan
kembali membahas strategi dengan timku. Ini kesempatan terakhirku masuk 5
besar. Sebuah prestasi besar bagi pemula sepertiku.
Hampir tengah malam.
Aku masih terjaga. Memandang layar BBku dengan kepala kosong.
Putaran terakhirku hancur. Aku jatuh di tikungan. Tubuhku baik-baik
saja. Tapi 5 besar melayang sudah.
Dan aku baru saja membuka inbox FBku.
Pesan dari dia singkat saja.
"Decide to stand alone.
Without u. Bye."
Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah.
Kubuka profile BBnya. Dia pasang icon sibuk. Dan status, "Trying to stand tall."
Kucoba memulai chat.
"Hun.."
Dia balas dengan emoticon tangis.
"I'm sorry.." Lanjutku.
"Too much sorry for u,"
balasnya.
"Jalani hidup yang kau pilih,"
tambahnya.
"Without me."
Aku tak tahu harus membalas apa.
"But I love u,"
akhirnya kutulis kalimat itu.
Dia pasang emot senyum.
"I love u more,"
balasnya.
"Kita bisa perbaiki,"
tulisku. "Aku telpon ya?"
"Nggak usah. Suaraku udah
habis buat nangis. Nggak bisa ngomong. Telpon Ancha kalau pingin ngobrol."
Ancha sahabatku. Dekat juga dengan dia.
Jam segini Ancha pasti masih terjaga.
Kupencet nama Ancha di gadgetku. Hanya sekali nada panggil, langsung
diangkat.
"Cha.." Panggilku ragu.
"Apa?" Jawabnya. Terdengar ketus.
"Dia putusin aku."
"Aku tahu."
"Kamu tahu? Sejak kapan?"
"Sejak tadi siang waktu dia inbox kamu."
Aku merasa bodoh. Ancha tahu tadi siang. Sedang aku baru malam ini?
Padahal aku yang diputus?
"Bodoh sekali kamu, Dika."
"Aku tahu itu Cha."
"Bodoh kuadrat kalau gitu."
Aku tersenyum kecut.
"Dia cerita?" Tanyaku.
"Semuanya," jawab Ancha.
"Semua?" Tanyaku bego.
"Ya. Semua. Detil."
"Detil yang mana?" Tanyaku semakin merasa bego.
"Ya semuanya. Tentang kamu yang jarang baca BBMnya. Bisa seharian
baru balas. Itupun singkat. Sibuk. Ga ada yang lain. Sibuk mulu,” terdengar
helaan nafas Ancha di seberang sana.
“Tentang kekuatirannya sama kamu. Semua kekuatirannya. Apa kamu sudah
makan? Di tahu banget kamu sering lupa makan. Dia tahu kamu punya tipus. Dia
tahu kamu gampang masuk angin. Apa kamu baik-baik saja? Gimana latihanmu? Kamu
jatuh enggak, cedera enggak. Semua dia tanyakan ke aku. Dia nggak berani nanya
sama kamu karena kamu pasti terlalu sibuk buat jawab semua itu..."
Aku bengong.
"Tahukah kamu kalo dia sempat dirawat di rumah sakit? Bahkan ketika
disana pun yang dia tanyakan malah kamu. Cha, gimana kabar dia? Apa dia
baik-baik saja? Gimana latihannya? Gimana race-nya?"
Ancha berhenti sebentar. Kudengar suara helaan nafasnya.
Aku merasa benar-benar bersalah sekarang. Dia masuk rumah sakit dan aku
nggak tahu? Jadi "Ga enak badan"-nya itu artinya dia ada di rumah
sakit? Oh God..
Kusandarkan kepalaku dan kututup mataku dengan tangan yang bebas.
Berharap itu membantuku mengatasi perasaan bersalahku.
"Aku aja yang ngedengernya sedih, Dika. Disaat dia sakit, bukannya
mikir dirinya sendiri, malah kamu yang dia pikirin."
Aku tak bisa berkata apa-apa. Tanganku mendadak dingin. Dan kepalaku
pening.
"Aku cuma bisa menghiburnya, bilang kalau BBMku pun nggak kamu
balas, pasti karena kamu sibuk banget. Itu aku lakukan cuma biar dia merasa
nggak sendirian. Bahwa bukan cuma dia yang kamu perlakukan kayak gitu."
Ancha menghela nafas lagi.
Kepalaku semakin pening. Dan mataku menghangat.
Hatiku mulai terasa perih. Perih seperti luka yang ditetesi jeruk nipis.
"Kamu benar-benar keterlaluan, Dika."
Ancha berhenti sejenak.
"Kamu sahabatku sejak kecil. Aku kenal semua cewekmu. Tapi cuma
dia, yang aku tahu begitu besar sayangnya sama kamu. Yang begitu besar
perhatiannya. Yang begitu besar sabarnya menghadapimu yang begonya pangkat
seratus itu."
Ancha terdengar tak sabar.
Pandanganku mengabur. Tak kuasa lagi kutahan airmataku. Kujauhkan HP
dari telingaku. Aku tak ingin Ancha mendengarku menangis. Masih terdengar
omelannya dari kejauhan. Sudah cukup apa yang kudengar. Sudah cukup membuatku
merasa bersalah. Sudah cukup membuatku merutuki kebodohanku sendiri.
Kebodohan yang kupelihara ini.
Aku baru tahu begitu besar perhatiannya padaku. Begitu besar sayangnya
padaku. Bahkan disaat dia sakit.
Sedangkan aku?
Nggak ada yang kupikirkan selain balapan dan balapan. Mulai bangun tidur
sampai tidur lagi. Cuma balapan yang ada di otakku. Bahkan tidurpun aku di base camp.
Dia nggak masuk hitungan sama sekali untuk prioritas perhatianku.
Dan sekarang aku menyesal.
Amat sangat menyesal.
Kubebaskan air mataku mengalir deras. Baru sekarang aku merasa
kehilangan dia. Kehilangan perhatiannya. Kehilangan kasih sayangnya.
Dan aku rindu semua itu. Aku rindu sosoknya, yang sudah berminggu-minggu
tak sempat aku temui.
Aku rindu senyumnya. Aku rindu suaranya. Aku rindu semua di dirinya.
Kuambil kunci mobil. Aku akan minta
maaf padanya. Akan kuminta dia kembali. Walaupun aku harus berlutut di
hadapannya. Walaupun aku harus menginap di depan pagar rumahnya.
Jalanan
macet ketika mobilku keluar dari perumahan. Bodohnya aku. Ini malam tahun baru.
Harusnya aku bawa motor saja. Tapi terlambat
sudah. Aku sudah tak bisa mundur atau putar balik. Mobilku terlanjur terjebak
di tengah-tengah. Kulihat jam di lenganku. Beberapa saat lagi pergantian tahun. Sepertinya
semua menuju ke tengah kota. Entah ada acara apa di sana. Sudah berminggu-minggu
aku tak mengikuti perkembangan kotaku. Aku cuma membaca berita tentang balapan
dan segala hal yang berhubungan dengan itu. Aku bahkan tak tahu jalan mana saja
yang bakal ditutup malam ini. Biasanya sih perayaan dipusatkan di alun-alun. Jadi
kuputuskan menjauh dari arah pusat kota dan mulai mengambil jalan tikus
menuju rumahnya.
Lagi-lagi
aku menyesal membawa mobil. Jalan tikus ternyata juga sama macetnya. Tampaknya banyak
yang berpikiran sama denganku. Menjauhi pusat kota. Dan yang namanya jalan
tikus, tentu saja sempit, banyak polisi tidur dan berlubang di beberapa tempat.
Aku mengumpat dalam hati.
Melewati
kedai yang buka 24 jam, mendadak terpikir olehku sesuatu. Kubelokkan mobil ke
kedai tersebut dan memarkir mobil disana. Setelah memastikan semua pintu
terkunci, kulangkahkan kaki menuju deretan tukang ojek di samping kedai. Lebih baik
naik ojek daripada harus terjebak macet lagi.
Untunglah
tukang ojek yang kutumpangi cukup jago memilih jalan. Setelah menyebutkan nama
perumahan tempat tinggal dia, sang tukang ojek memacu motornya melewati
jalan-jalan yang sebelumnya tak pernah kuketahui. Kadang lewat gang-gang sempit
yang cuma bisa dilalui motor dan pejalan kaki. Boleh juga si tukang ojek.
Lima
belas menit kemudian, aku sampai di depan rumahnya. Beberapa mobil dan motor
tampak di sana. Kupicingkan mata. Apa ada acara malam ini? Kenapa dia tak
memberitahuku?
Setelah
membayar ongkos ojek dan meminta no telpon si tukang ojek supaya aku tak
bingung saat pulang nanti, kubuka pagar dengan ragu. Aku mengenali beberapa
motor dan mobil yang ada disitu. Itu milik teman-teman sekolahku. Yang membuatku
semakin bertanya-tanya, ada motor Ancha juga.
Bertekad
menjawab pertanyaanku sendiri, kulangkahkan kaki menuju ke teras rumahnya. Tawa
membahana dari ruang tamu. Aku semakin penasaran. Rasanya seperti sewindu
ketika akhirnya aku sampai di ambang pintu yang terbuka.
Dia
duduk disana, dikelilingi setengah lusin cowok-cowok yang tiba-tiba
menghentikan tawa begitu melihatku datang. Ancha ada diantara mereka.
Aku
bergeming. Benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Segala macam pikiran
berkecamuk di dalam kepalaku. Apa yang mereka lakukan di sana? Menjelang tengah
malam begini? Baru beberapa jam ia putus denganku, dan lihat apa yang sudah ia
lakukan?
Separuh
diriku ingin masuk ke dalam dan menanyakan itu padanya. Tapi separuhnya lagi
ingin berbalik dan pergi saja. Aku merasa dipecundangi.
Tiba-tiba
Ancha berdiri. Ia menoleh ke cewekku.
“Kau
ingin bicara dengannya?” ia bertanya.
Cewekku mengangguk. “Kalau kalian
tak keberatan, beri kami waktu.”
Ancha menoleh kepadaku. “Waktumu,”
katanya singkat.
“Ayo kita pergi,” ajaknya kepada
yang lain.
Mereka semua berdiri dengan
enggan. Seseorang yang tak kukenal,
dengan body atletis ala atlet binaraga, berkata pada cewekku, “Kalau ia
macam-macam, bilang aku.”
Dia tersenyum dan menyahut, “Dia nggak akan
macam-macam.”
Aku tertegun. Ternyata ia masih percaya padaku.
Satu per satu cowok-cowok itu keluar
melewatiku yang masih mematung di ambang pintu. Si body atletis menyenggolku
dengan sengaja. Aku hanya meliriknya. Ancha berjalan paling belakang. Ia berhenti
sejenak di depanku dan berbisik, “Kau lihat, sekali saja ia galau, semua orang peduli
padanya. Banyak yang antri untuk menggantikanmu.” Ia membuang nafas sekali,
lalu keluar.
Aku menelan ludah. Semua pertanyaanku tadi terjawab dengan sendirinya.
Hanya tinggal dia disana sekarang. Duduk
manis dan memberikanku senyum paling indah yang pernah kulihat. Oh, Tuhan...
Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Duduklah,” katanya mempersilakan. Aku
menurut. Kuambil tempat di depannya. Bukan di sampingnya seperti biasa. Entahlah...
Aku seperti merasa... Tak pantas.
Ia begitu baik. Begitu sabar. Begitu
istimewa. Sedangkan aku? Aku cuma sibuk memikirkan balapan. Memikirkan diriku
sendiri. Baru kusadari aku seperti mendapat durian runtuh dengan menjadi
cowoknya. Sedangkan ia... Apa yang ia rasakan dengan menjadi cewekku?
Tersiksa?
Aku tak bisa memikirkan kata lain
yang bisa menggambarkan perasaannya terhadapku selama ini. Cewek seistimewa
dia, seharusnya mendapatkan cowok yang penuh perhatian, yang selalu ada saat ia
membutuhkan. Sedangkan aku? Apa yang kulakukan? Aku bahkan lebih peduli
motorku yang perlu ganti busi dibandingkan dia yang masuk rumah sakit.
Pantaskah aku mendapatkannya?
Semua semangat menggebu-gebuku untuk
memintanya kembali padaku tadi serasa luntur perlahan-lahan.
Masih pantaskah aku memintanya
kembali?
Suara ledakan kembang api di udara membuyarkan lamunanku. Tengah malam. Tahun baru datang.
Teman.. Bantulah aku... Apa yang
harus kulakukan?