Selasa, 31 Desember 2013

Maafkan Aku, Cinta




Sekian lama

Kita saling mencinta

Selama itu pula

Seringku buatmu kecewa



Kau cintai aku

Sepenuh hatimu

Kau sayangi aku

Dan segala kekuranganku



Reff:

Maafkan aku cinta

Sering buatmu kecewa

Maafkan aku cinta

Tlah buatmu terluka

Maafkan aku cinta

Tak bisa buatmu bahagia



Maafkan aku

Cinta



Hanya kau yang pahamiku

Hanya kau yang mengertiku

Kutahu sucinya cintamu

Kutahu pengorbananmu



Maafkan aku cinta

Suatu saat nanti

Kan kutebus sgalanya


"Sibuk?"
Kulirik isi BBM sekilas.
Nantilah, pikirku.
Kembali kutekuri mesin motor di depanku. Ada race nanti malam. Aku harus persiapkan motorku. Tak ada yang lebih penting dari itu sekarang.
Dua jam kemudian, motorku siap. Kuambil BB dan mulai mengetik.
"Yup. Race tar malem."
Kulihat tanda "is writing a message" dibawah namanya.
"Gudlak then. Sori, ga bisa nonton. Ga enak badan."
Kupilih emoticon jempol. Send.
"GWS," tambahku.
"Thanks," jawabnya.

Kupusatkan pikiranku pada race malam itu. Aku pemula. Masih harus banyak belajar. Tentang mesin. Tentang sirkuit. Tentang rival-rivalku. Tentang strategi. Kuhabiskan beberapa bulan terakhir ini untuk itu. Kadang menginap di bengkel. Kadang di rumah sponsorku. Tim kami berkandang disana.

Aku sadar selama itu pula aku banyak mengabaikan dia. Menunda-nunda membaca BBMnya. Agar notifikasinya masih "D" (delivered), bukannya "R" (read), agar dia paham kalau aku sibuk.
Lagipula aku semakin malas membaca BBMnya. Paling-paling bilang, "I miss u." Atau tanya apa aku sudah makan? Dasar cewek. Apa nggak ada yang lebih penting dari itu di pikiran mereka? Bagiku masih banyak hal yang lebih penting dibandingkan menjawab aku makan apa dan jam berapa. 
Dan kangen? Pertanyaan macam apa itu. Dia cewekku. Tentu saja dalam hatiku aku kangen. Tapi apa iya harus diucapkan tiap hari? Masih banyak yang lebih penting di otakku.

Sejak aku sering menunda membalas BBMnya, dia jarang BBM lagi. Jika dulu dia BBM seperti minum obat, sekarang bahkan 3 hari sekali pun belum tentu. Kadang cuma mengirim gambar-gambar ke inbox FBku. Gambar yang menunjukkan dia kangen. Dan aku cuma melihatnya. Nggak sempat membalas lah. Aku kan sibuk.

Kusetel sekali lagi motorku. Memastikan kalau performanya sempurna untuk race kali ini.

"Klunthing."
BBku berbunyi. Kulirik sekilas. Dari dia.
"Cek inbox FB."
Singkat.

Kuabaikan BBM itu. Race sudah memasuki putaran terakhir. Aku harus fokus. Kumasukkan BB ke dalam saku, dan kembali membahas strategi dengan timku. Ini kesempatan terakhirku masuk 5 besar. Sebuah prestasi besar bagi pemula sepertiku.

Hampir tengah malam.
Aku masih terjaga. Memandang layar BBku dengan kepala kosong.
Putaran terakhirku hancur. Aku jatuh di tikungan. Tubuhku baik-baik saja. Tapi 5 besar melayang sudah.
Dan aku baru saja membuka inbox FBku.
Pesan dari dia singkat saja.
"Decide to stand alone. Without u. Bye."
Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah.

Kubuka profile BBnya. Dia pasang icon sibuk. Dan status, "Trying to stand tall."
Kucoba memulai chat.
"Hun.."
Dia balas dengan emoticon tangis.
"I'm sorry.." Lanjutku.
"Too much sorry for u," balasnya.
"Jalani hidup yang kau pilih," tambahnya.
"Without me."
Aku tak tahu harus membalas apa.
"But I love u," akhirnya kutulis kalimat itu.
Dia pasang emot senyum.
"I love u more," balasnya.
"Kita bisa perbaiki," tulisku. "Aku telpon ya?"
"Nggak usah. Suaraku udah habis buat nangis. Nggak bisa ngomong. Telpon Ancha kalau pingin ngobrol."

Ancha sahabatku. Dekat juga dengan dia.
Jam segini Ancha pasti masih terjaga.
Kupencet nama Ancha di gadgetku. Hanya sekali nada panggil, langsung diangkat.
"Cha.." Panggilku ragu.
"Apa?" Jawabnya. Terdengar ketus.
"Dia putusin aku."
"Aku tahu."
"Kamu tahu? Sejak kapan?"
"Sejak tadi siang waktu dia inbox kamu."
Aku merasa bodoh. Ancha tahu tadi siang. Sedang aku baru malam ini? Padahal aku yang diputus?
"Bodoh sekali kamu, Dika."
"Aku tahu itu Cha."
"Bodoh kuadrat kalau gitu."
Aku tersenyum kecut.
"Dia cerita?" Tanyaku.
"Semuanya," jawab Ancha.
"Semua?" Tanyaku bego.
"Ya. Semua. Detil."
"Detil yang mana?" Tanyaku semakin merasa bego.
"Ya semuanya. Tentang kamu yang jarang baca BBMnya. Bisa seharian baru balas. Itupun singkat. Sibuk. Ga ada yang lain. Sibuk mulu,” terdengar helaan nafas Ancha di seberang sana.
“Tentang kekuatirannya sama kamu. Semua kekuatirannya. Apa kamu sudah makan? Di tahu banget kamu sering lupa makan. Dia tahu kamu punya tipus. Dia tahu kamu gampang masuk angin. Apa kamu baik-baik saja? Gimana latihanmu? Kamu jatuh enggak, cedera enggak. Semua dia tanyakan ke aku. Dia nggak berani nanya sama kamu karena kamu pasti terlalu sibuk buat jawab semua itu..."
Aku bengong.
"Tahukah kamu kalo dia sempat dirawat di rumah sakit? Bahkan ketika disana pun yang dia tanyakan malah kamu. Cha, gimana kabar dia? Apa dia baik-baik saja? Gimana latihannya? Gimana race-nya?"
Ancha berhenti sebentar. Kudengar suara helaan nafasnya.
Aku merasa benar-benar bersalah sekarang. Dia masuk rumah sakit dan aku nggak tahu? Jadi "Ga enak badan"-nya itu artinya dia ada di rumah sakit? Oh God..
Kusandarkan kepalaku dan kututup mataku dengan tangan yang bebas. Berharap itu membantuku mengatasi perasaan bersalahku.
"Aku aja yang ngedengernya sedih, Dika. Disaat dia sakit, bukannya mikir dirinya sendiri, malah kamu yang dia pikirin."
Aku tak bisa berkata apa-apa. Tanganku mendadak dingin. Dan kepalaku pening.
"Aku cuma bisa menghiburnya, bilang kalau BBMku pun nggak kamu balas, pasti karena kamu sibuk banget. Itu aku lakukan cuma biar dia merasa nggak sendirian. Bahwa bukan cuma dia yang kamu perlakukan kayak gitu."
Ancha menghela nafas lagi.
Kepalaku semakin pening. Dan mataku menghangat.
Hatiku mulai terasa perih. Perih seperti luka yang ditetesi jeruk nipis.
"Kamu benar-benar keterlaluan, Dika."
Ancha berhenti sejenak.
"Kamu sahabatku sejak kecil. Aku kenal semua cewekmu. Tapi cuma dia, yang aku tahu begitu besar sayangnya sama kamu. Yang begitu besar perhatiannya. Yang begitu besar sabarnya menghadapimu yang begonya pangkat seratus itu."
Ancha terdengar tak sabar.

Pandanganku mengabur. Tak kuasa lagi kutahan airmataku. Kujauhkan HP dari telingaku. Aku tak ingin Ancha mendengarku menangis. Masih terdengar omelannya dari kejauhan. Sudah cukup apa yang kudengar. Sudah cukup membuatku merasa bersalah. Sudah cukup membuatku merutuki kebodohanku sendiri.
Kebodohan yang kupelihara ini.
Aku baru tahu begitu besar perhatiannya padaku. Begitu besar sayangnya padaku. Bahkan disaat dia sakit.
Sedangkan aku?
Nggak ada yang kupikirkan selain balapan dan balapan. Mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Cuma balapan yang ada di otakku. Bahkan tidurpun aku di base camp.
Dia nggak masuk hitungan sama sekali untuk prioritas perhatianku.
Dan sekarang aku menyesal.
Amat sangat menyesal.
Kubebaskan air mataku mengalir deras. Baru sekarang aku merasa kehilangan dia. Kehilangan perhatiannya. Kehilangan kasih sayangnya.
Dan aku rindu semua itu. Aku rindu sosoknya, yang sudah berminggu-minggu tak sempat aku temui.
Aku rindu senyumnya. Aku rindu suaranya. Aku rindu semua di dirinya.
Kuambil kunci mobil. Aku akan minta maaf padanya. Akan kuminta dia kembali. Walaupun aku harus berlutut di hadapannya. Walaupun aku harus menginap di depan pagar rumahnya.
 
                Jalanan macet ketika mobilku keluar dari perumahan. Bodohnya aku. Ini malam tahun baru.  Harusnya aku bawa motor saja. Tapi terlambat sudah. Aku sudah tak bisa mundur atau putar balik. Mobilku terlanjur terjebak di tengah-tengah. Kulihat jam di lenganku. Beberapa saat lagi pergantian tahun. Sepertinya semua menuju ke tengah kota. Entah ada acara apa di sana. Sudah berminggu-minggu aku tak mengikuti perkembangan kotaku. Aku cuma membaca berita tentang balapan dan segala hal yang berhubungan dengan itu. Aku bahkan tak tahu jalan mana saja yang bakal ditutup malam ini. Biasanya sih perayaan dipusatkan di alun-alun. Jadi kuputuskan menjauh dari arah pusat kota dan mulai mengambil jalan tikus menuju rumahnya.
                Lagi-lagi aku menyesal membawa mobil. Jalan tikus ternyata juga sama macetnya. Tampaknya banyak yang berpikiran sama denganku. Menjauhi pusat kota. Dan yang namanya jalan tikus, tentu saja sempit, banyak polisi tidur dan berlubang di beberapa tempat. Aku mengumpat dalam hati.
                Melewati kedai yang buka 24 jam, mendadak terpikir olehku sesuatu. Kubelokkan mobil ke kedai tersebut dan memarkir mobil disana. Setelah memastikan semua pintu terkunci, kulangkahkan kaki menuju deretan tukang ojek di samping kedai. Lebih baik naik ojek daripada harus terjebak macet lagi.
                Untunglah tukang ojek yang kutumpangi cukup jago memilih jalan. Setelah menyebutkan nama perumahan tempat tinggal dia, sang tukang ojek memacu motornya melewati jalan-jalan yang sebelumnya tak pernah kuketahui. Kadang lewat gang-gang sempit yang cuma bisa dilalui motor dan pejalan kaki. Boleh juga si tukang ojek.
                Lima belas menit kemudian, aku sampai di depan rumahnya. Beberapa mobil dan motor tampak di sana. Kupicingkan mata. Apa ada acara malam ini? Kenapa dia tak memberitahuku?
                Setelah membayar ongkos ojek dan meminta no telpon si tukang ojek supaya aku tak bingung saat pulang nanti, kubuka pagar dengan ragu. Aku mengenali beberapa motor dan mobil yang ada disitu. Itu milik teman-teman sekolahku. Yang membuatku semakin bertanya-tanya, ada motor Ancha juga.
                Bertekad menjawab pertanyaanku sendiri, kulangkahkan kaki menuju ke teras rumahnya. Tawa membahana dari ruang tamu. Aku semakin penasaran. Rasanya seperti sewindu ketika akhirnya aku sampai di ambang pintu yang terbuka.
                Dia duduk disana, dikelilingi setengah lusin cowok-cowok yang tiba-tiba menghentikan tawa begitu melihatku datang. Ancha ada diantara mereka.
                Aku bergeming. Benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Segala macam pikiran berkecamuk di dalam kepalaku. Apa yang mereka lakukan di sana? Menjelang tengah malam begini? Baru beberapa jam ia putus denganku, dan lihat apa yang sudah ia lakukan?
                Separuh diriku ingin masuk ke dalam dan menanyakan itu padanya. Tapi separuhnya lagi ingin berbalik dan pergi saja. Aku merasa dipecundangi.
                Tiba-tiba Ancha berdiri. Ia menoleh ke cewekku.
                “Kau ingin bicara dengannya?” ia bertanya.
Cewekku mengangguk. “Kalau kalian tak keberatan, beri kami waktu.”
Ancha menoleh kepadaku. “Waktumu,” katanya singkat.
“Ayo kita pergi,” ajaknya kepada yang lain.

Mereka semua berdiri dengan enggan.  Seseorang yang tak kukenal, dengan body atletis ala atlet binaraga, berkata pada cewekku, “Kalau ia macam-macam, bilang aku.”
Dia tersenyum dan menyahut, “Dia nggak akan macam-macam.”
Aku tertegun. Ternyata ia masih percaya padaku.

Satu per satu cowok-cowok itu keluar melewatiku yang masih mematung di ambang pintu. Si body atletis menyenggolku dengan sengaja. Aku hanya meliriknya. Ancha berjalan paling belakang. Ia berhenti sejenak di depanku dan berbisik, “Kau lihat, sekali saja ia galau, semua orang peduli padanya. Banyak yang antri untuk menggantikanmu.” Ia membuang nafas sekali, lalu keluar.
Aku menelan ludah. Semua pertanyaanku tadi terjawab dengan sendirinya.

Hanya tinggal dia disana sekarang. Duduk manis dan memberikanku senyum paling indah yang pernah kulihat. Oh, Tuhan... Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Duduklah,” katanya mempersilakan. Aku menurut. Kuambil tempat di depannya. Bukan di sampingnya seperti biasa. Entahlah... Aku seperti merasa... Tak pantas.
Ia begitu baik. Begitu sabar. Begitu istimewa. Sedangkan aku? Aku cuma sibuk memikirkan balapan. Memikirkan diriku sendiri. Baru kusadari aku seperti mendapat durian runtuh dengan menjadi cowoknya. Sedangkan ia... Apa yang ia rasakan dengan menjadi cewekku?
 Tersiksa?
Aku tak bisa memikirkan kata lain yang bisa menggambarkan perasaannya terhadapku selama ini. Cewek seistimewa dia, seharusnya mendapatkan cowok yang penuh perhatian, yang selalu ada saat ia membutuhkan. Sedangkan aku? Apa yang kulakukan? Aku bahkan lebih peduli motorku yang perlu ganti busi dibandingkan dia yang masuk rumah sakit.
Pantaskah aku mendapatkannya?
Semua semangat menggebu-gebuku untuk memintanya kembali padaku tadi serasa luntur perlahan-lahan.
Masih pantaskah aku memintanya kembali? 

Suara ledakan kembang api di udara membuyarkan lamunanku. Tengah malam. Tahun baru datang.
Teman.. Bantulah aku... Apa yang harus kulakukan? 



    

Kamis, 18 Oktober 2012

MIMPI = HARAPAN, SUDAHKAH KITA MILIKI?

Sepertinya ini lanjutan dari Perlukah Mimpi deh...

Saya baru saja selesai membaca buku Little Princess karya Frances Hodgson Burnett.  Yup, buku itu memang novel, dalam istilah lain, fiksi. Artinya tidak nyata.  Tapi cerita disitu sebenarnya gambaran dari kehidupan kita, kehidupan manusia normal. Little Princess berisi tentang kisah seorang gadis bernama Sara, yang berubah nasibnya.  Awalnya Sara adalah putri Kapten Crewe yang kaya raya. Kemudian terjadilah musibah, yang menyebabkan Kapten Crewe meninggal dalam keadaan (atau disangka) bangkrut.  Mulailah kehidupan Sara yang dulunya diistimewakan bagai putri raja, kemudian harus bekerja di sekolah berasramanya, tanpa makanan dan istirahat yang cukup, pakaian seadanya dan tinggal di loteng yang penuh tikus.

Disinilah "Mimpi" itu berperan.  Di tengah kehidupannya yang menderita, Sara mempunyai senjata andalan yang membuatnya bertahan. Yaitu imajinasinya.  Walaupun ia hidup di loteng yang dingin, penuh tikus dan kumuh, ia selalu membayangkan bahwa kamarnya adalah kamar yang indah, bersih dan hangat, dengan perapian yang menyala. Ia juga selalu berimajinasi bahwa apa-apa yang dihadapinya adalah sesuatu yang terbaik.  Dengan begitu ia merasa penderitaannya terobati.  Karena imajinasinya itulah ia punya harapan, ia punya mimpi.  Dan ia yakin suatu saat nanti mimpinya akan menjadi kenyataan.

Bukankah apa yang dialami Sara ini dekat sekali dengan kita? Hidup manusia, siapapun itu, selalu mengalami pasang surut dalam bentuk yang berbeda-beda.  Bagi mereka yang tidak punya harapan, yang didapatinya adalah perasaan skeptis, penderitaan, dalam level yang ringan sampai berat.  Bagi mereka yang punya harapan, punya mimpi akan kehidupan yang lebih baik, akan memandang apa yang dialaminya itu sebagai sebuah proses yang memang perlu dijalani dalam rangka memperoleh kehidupan yang lebih baik.  Tanpa pengalaman itu, kehidupan yang lebih baik mungkin tak akan pernah tercapai.

Di dalam Islam, kita dilarang untuk berputus asa, selain karena putus asa itu dosa, putus asa adalah pengingkaran terhadap rukun iman yang terakhir, yaitu iman kepada takdir.

Tetapi tentu saja yang kita perlukan sekarang bukan cuma sekedar teori, tetapi penerapan.  Apakah kita punya mimpi? Punya harapan yang jelas? Apakah kita mengijinkan anak-anak kita dan orang-orang di sekitar kita bermimpi? Atau jangan-jangan kita malah termasuk orang yang suka merusak mimpi orang lain dengan menjatuhkan harapannya? Bukan sekali dua kali saya menemukan orang yang demikian, yang begitu negatif dengan mimpi orang lain. Saya justru merasa kasihan dengan orang yang seperti ini. Karena orang seperti ini biasanya tidak percaya mimpi, sehingga dia sendiri tak punya mimpi yang jelas.  Ketidakpercayaannya akan mimpi, biasanya dipicu oleh ketakutannya sendiri, bahwa dia -ataupun orang lain- akan gagal mewujudkan mimpinya, dan ia tidak siap akan akibat dari kekecewaan yang muncul jika mimpinya tidak terwujud.  Padahal, seandainya mimpi itu tidak terwujud, tak ada yang dirugikan sama sekali.  Ia sudah berusaha, dan usahanya itu pastilah membuatnya beberapa level lebih baik.  Ia lebih berilmu, lebih ahli, dan lebih-lebih yang lain.  Dan Allah tidak menutup mata atas usahanya.

Jadi, siapkah kita bermimpi?

Jumat, 13 Januari 2012

Perlukah Mimpi?

Mimpi itu perlu?
Entahlah.  Banyak yang mengatakan mimpi itu perlu.  Tapi banyak pula yang bilang mimpi itu tidak perlu. 

Yang berpendapat mimpi itu perlu, menganggap bahwa tanpa mimpi, manusia tidak akan punya arah dalam menjalani hidupnya.  Seperti kita naik taksi, lalu bilang kepada sopirnya, "Jalan, Bang!", lalu sopir taksi bertanya, "Tujuannya kemana?". Karena tanpa tujuan, maka kita tidak bisa memberi jawaban pasti dan hanya berkata, "Entahlah, jalan saja."
Terdengar familiar?  Yup.  Banyak sekali diantara kita yang begini. 
"Apa kamu inginkan dalam hidup?". 
"Entahlah, jalani saja."

Sebaliknya, yang berpendapat mimpi itu tidak perlu, menganggap bahwa asal kita terus bekerja, berusaha, maka kita akan mendapatkan hasilnya.  Ada juga yang berpendapat, mimpi adalah wujud angan-angan yang panjang, yang dilarang dalam agama.

Mana yang betul? Entahlah, saya juga tidak tahu mana yang betul.  Tapi kalo disuruh memilih, saya akan memilih berpendapat bahwa mimpi itu perlu.  Mengapa?  Karena agama mengajarkan kita untuk berdoa, meminta kepada Allah.  Bahkan orang yang tidak mau berdoa disebut sebagai orang yang sombong dan Allah tidak suka. Meminta kan berarti ada sesuatu yang diminta?  Nah, sesuatu yang kita pinta itu, yang kita inginkan itu, bukankah itu namanya mimpi kita?  Misalnya kita berdoa supaya hutang kita lunas.  Nah, bukankah "hutang lunas" adalah sebuah mimpi?
Berarti jika Allah meminta kita untuk berdoa, itu artinya Allah juga mengijinkan kita "bermimpi"?

Hm hm hmmmm.........