Kamis, 18 Oktober 2012

MIMPI = HARAPAN, SUDAHKAH KITA MILIKI?

Sepertinya ini lanjutan dari Perlukah Mimpi deh...

Saya baru saja selesai membaca buku Little Princess karya Frances Hodgson Burnett.  Yup, buku itu memang novel, dalam istilah lain, fiksi. Artinya tidak nyata.  Tapi cerita disitu sebenarnya gambaran dari kehidupan kita, kehidupan manusia normal. Little Princess berisi tentang kisah seorang gadis bernama Sara, yang berubah nasibnya.  Awalnya Sara adalah putri Kapten Crewe yang kaya raya. Kemudian terjadilah musibah, yang menyebabkan Kapten Crewe meninggal dalam keadaan (atau disangka) bangkrut.  Mulailah kehidupan Sara yang dulunya diistimewakan bagai putri raja, kemudian harus bekerja di sekolah berasramanya, tanpa makanan dan istirahat yang cukup, pakaian seadanya dan tinggal di loteng yang penuh tikus.

Disinilah "Mimpi" itu berperan.  Di tengah kehidupannya yang menderita, Sara mempunyai senjata andalan yang membuatnya bertahan. Yaitu imajinasinya.  Walaupun ia hidup di loteng yang dingin, penuh tikus dan kumuh, ia selalu membayangkan bahwa kamarnya adalah kamar yang indah, bersih dan hangat, dengan perapian yang menyala. Ia juga selalu berimajinasi bahwa apa-apa yang dihadapinya adalah sesuatu yang terbaik.  Dengan begitu ia merasa penderitaannya terobati.  Karena imajinasinya itulah ia punya harapan, ia punya mimpi.  Dan ia yakin suatu saat nanti mimpinya akan menjadi kenyataan.

Bukankah apa yang dialami Sara ini dekat sekali dengan kita? Hidup manusia, siapapun itu, selalu mengalami pasang surut dalam bentuk yang berbeda-beda.  Bagi mereka yang tidak punya harapan, yang didapatinya adalah perasaan skeptis, penderitaan, dalam level yang ringan sampai berat.  Bagi mereka yang punya harapan, punya mimpi akan kehidupan yang lebih baik, akan memandang apa yang dialaminya itu sebagai sebuah proses yang memang perlu dijalani dalam rangka memperoleh kehidupan yang lebih baik.  Tanpa pengalaman itu, kehidupan yang lebih baik mungkin tak akan pernah tercapai.

Di dalam Islam, kita dilarang untuk berputus asa, selain karena putus asa itu dosa, putus asa adalah pengingkaran terhadap rukun iman yang terakhir, yaitu iman kepada takdir.

Tetapi tentu saja yang kita perlukan sekarang bukan cuma sekedar teori, tetapi penerapan.  Apakah kita punya mimpi? Punya harapan yang jelas? Apakah kita mengijinkan anak-anak kita dan orang-orang di sekitar kita bermimpi? Atau jangan-jangan kita malah termasuk orang yang suka merusak mimpi orang lain dengan menjatuhkan harapannya? Bukan sekali dua kali saya menemukan orang yang demikian, yang begitu negatif dengan mimpi orang lain. Saya justru merasa kasihan dengan orang yang seperti ini. Karena orang seperti ini biasanya tidak percaya mimpi, sehingga dia sendiri tak punya mimpi yang jelas.  Ketidakpercayaannya akan mimpi, biasanya dipicu oleh ketakutannya sendiri, bahwa dia -ataupun orang lain- akan gagal mewujudkan mimpinya, dan ia tidak siap akan akibat dari kekecewaan yang muncul jika mimpinya tidak terwujud.  Padahal, seandainya mimpi itu tidak terwujud, tak ada yang dirugikan sama sekali.  Ia sudah berusaha, dan usahanya itu pastilah membuatnya beberapa level lebih baik.  Ia lebih berilmu, lebih ahli, dan lebih-lebih yang lain.  Dan Allah tidak menutup mata atas usahanya.

Jadi, siapkah kita bermimpi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar